Jalurnusantara.com- Makassar- Posturnya tidak tinggi tegap, bahkan agak kecil. Tetapi siapa pun berada didekatnya akan segera menyadari beliau memiliki watak kepemimpinan. Apalagi jika sudah menyatakan pendapatnya. Beliau tegas, tetapi sangat peduli. Kepada anak-anak muda beliau selalu meletakkan harapan dan kepercayaan. Sebagai junior yang jauh di bawah beliau, baik di kantor Balai Litbang Agama Makassar, maupun di NU dan PMII, saya dapat merasakan perhatian dan ketegasannya.
Namun sebagai senior beliau tidak canggung berdiskusi dengan para juniornya, sekali lagi baik di lingkungan peneliti maupun di kalangan NU. Beliau akan mengkritisi tanpa tedeng aling-aling jika merasa ada yang tidak beres dengan apa yang kita lakukan. Sebaliknya, beliau juga tidak pernah mempersoalkan jika dikritik oleh juniornya. Baginya, perdebatan dalam lingkungan ilmiah penting dan harus.
Tegas, kadang-kadang terlihat garang menunjukkan karakter khasnya sebagai orang Tinambung-Mandar. Tetapi itu semua tidak bisa menyembunyikan perhatiannya, khususnya kepada para juniornya. Beliau akan serius mendengarkan persoalan yang membelenggu kita, memberikan jalan, bahkan bantuan. Beliau seakan tidak peduli berapa pun yang harus dikorbankan demi membantu adik-adiknya.
Terakhir kali kami berjumpa dengan beliau dalam diskusi LAKPESDAM NU Sulsel. Dalam kesempatan itu, beliau masih bersemangat menguraikan kepingan-kepingan dari sejarah NU Sulsel. Militansinya menguar dalam diskusi saat itu. Anak-anak muda yang hadir mendengarkan saat itu, seperti sedang dilecut semangatnya.
Siapa yang sangka diskusi kami saat itu di Focus Group Discussion (FGD) Lakpesdam adalah puncak dari semua diskusi. Itulah terakhir kali saya mendengarkan beliau bicara.
Semalam, di malam yang agung, ia menghadap ke haribaan-Nya, kala menjalankan tugas mendampingi peneliti Litbang Agama Makassar di Balikpapan. Tak ada tanda, terlihat sakit pun tidak. Tetapi jika janji sudah sampai, sukatan sudah penuh, siapa dapat menghalangi ajal?
Di pagi hari, setelah mendengar kabar kepergian beliau, saya pun tidak bisa langsung ikut melayat. Saya harus ke satu sekolah, ikut duha dan pengajian bersama. Jujur, awalnya memang hanya untuk kepentingan riset, tetapi begitu sampai di masjid berbaur dengan para siswa, dan para siswa mengumandangkan i’tiraf, bayangan-bayangan beliau melingkar-lingkar dalam benak. Saya pun ikut hanyut menyenandungkan i’tiraf itu.
“Ilahi lasna lilfirdausi ahla, wa laa naqwami alannaril jahim, fahablana tawbatan ya…zaljalal…..(Wahai Tuhan, Kami tak pantas untuk syurgamu, tapi sungguh kami tidak sanggup menanggung nerakamu, maka berikanlah kami ampunammu wahai zat Yang Maha Indah…)
I’tirab itu terus saya lantunkan bersama siswa. Mata dari kaca menjadi basah. Dan i’tirab itu saya niatkan untuk memohonkan ampun, jika beliau (prof Arif ) ada yang khilaf dalam hidupnya.
Selamat jalan Prof, Al fatihah untukmu. Bapak hanya berangkat duluan, toh pada akhirnya kita semua akan menyusul.
Penulis ; Syamsurijal Adhan, Ketua LTN NU Sulawesi Selatan.